Selasa, 10 Maret 2015

Tugas Pancasila



PENDIDIKAN KEWARGA NEGARAAN

LANDASAN HUKUM
1.       UUD 1945
·         Pembukaan UUD 1945, alinea kedua dan keempat (cita-cita, tujuan dan aspirasi       Bangsa Indonesia tentang kemerdekaanya).
·         Pasal 27 (1), kesamaan kedudukan Warganegara di dalam hukum dan pemerintahan.
·         Pasal 27 (3), hak dan kewajiban Warganegara dalam upaya bela negara.
·          Pasal 30 (1), hak dan kewajiban Warganegara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
·         Pasal 31 (1), hak Warganegara mendapatkan pendidikan.
2.       UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3.       Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
LATAR BELAKANG
Pendidikan moral terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan danKewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan dijadikan bahan dalam pembelajaran pendidikan pancasila dan kewarganegaraan.
Banyak pengertian pendidikan menurut para ahli. Diantara banyak pengertian tersebut diketengahkan sebagai berikut:
1.       Menurut UU sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 mengatakan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencanna untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didiik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya ,masyarakat,bangsa dan Negara.
2.       Menurut Carter v.Good(1997) pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya.
          Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa: Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu membentuk kemampuan individu mengembangkan dirinya yang kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai warga negara dan warga masyarakat.


Dalam pendidikan nilai moral Pendidikan Kewarganegaraan meliputi:

BATASAN-BATASAN NILAI MORAL
Pendidikan nilai moral berkaitan erat dengan kebaikan, yang ada dalam sesuatu objek – subjek. Boleh jadi sesuatu objek – subjek itu baik tetapi tidak bernilai bagi seseorang dalam suatu konteks peristiwa tertentu.

PANDANGAN MASYARAKAN TENTANG NILAI/MORAL
Dalam suatu masyarakat yang majemuk dan berkembang terdapat berbagai pandangan tentang nilai. Sehingga seringkali terjadi kerancuan dan penyimpangan tentang pemaknaan nilai yang sesungguhnya (the alse sense of normally). Sehingga kerap terjadi berbagai kelompok, golongan, dan bangsa “menginjak – injak nilai” yang mestinya dihormati dengan dalih yang “indah- indah”.
Sebaliknya, orang menuntut hak dan kebebasan pribadinya yang terlampau tinggi. Sehingga mengganggu hak asasi orang lain, kebebasan orang lain, sehingga terjadi.

MAKNA PENDIDIKAN MORAL
Makna “pendidikan moral” adalah bertujuan membantu peserta didik untuk mengenali nilai – nilai dan menempatkannya secara integral dalam konteks keseluruhan hidupnya. Pendidikan semacam ini semakin penting dan menempati posisi sentral karena tingkat kadar persatuan dan kesatuan terutama yang berkaitan dengan kesadaran akan nilai – nilai dalam masyarakat cenderung pudar.
TUJUAN
Tujuan utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para calon-calon penerus bangsa yang sedang dan mengkaji dan akan menguasai imu pengetahuaan dan teknologi serta seni.
Selain itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia yang berbudi luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, profesional, bertanggung  jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai perilaku yang:
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa serta menghayati nilai-nilai falsafah bangsa.
Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam masnyarakat berbangsa dan bernegara.
Rasional, dinamis, dan sabar akan hak dan kewajiban warga negara.
Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui pendidikan Kewarganegaraan , warga negara Republik indonesia diharapkan mampu “memahami”, menganalisa, dan menjawab masalah-masalah yang di hadapi oleh masyarakat , bangsa dan negaranya secra konsisten dan berkesinambungan dalam cita-cita dan tujuan nasional seperti yang di gariskan dalam pembukaan UUD 1945.

DEMOKRASI
Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία (dēmokratía) "kekuasaan rakyat",[1] yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politiknegara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis, kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak jelas lagi.[2]Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini[3] sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu melakukan revolusi.
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang pertama adalah demokrasi langsung, yaitu semua warga negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung melalui perwakilan; ini disebut demokrasi perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan EropaEra Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Perancis.

HAM(hak asazi manusia)
Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1pasal 28pasal 29 ayat 2pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Dalam teori perjanjian bernegara, adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis. Pactum Unionis adalah perjanjian antara individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum unionis adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa yang dipiliah di antara warga negara tersebut (Pactum Unionis). Thomas Hobbes mengakui adanya Pactum Subjectionis saja. John Lock mengakui adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis dan JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum Unionis. Ke-tiga paham ini berpenbdapat demikian. Namun pada intinya teori perjanjian ini meng-amanahkan adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh penguasa, bentuk jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).
Dalam kaitannya dengan itu, HAM adalah hak fundamental yang tak dapat dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. , misal, dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat
dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia sendiri. Contoh pelanggaran HAM:
1.     Penindasan dan merampas hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
2.     Menghambat dan membatasi kebebasan pers, pendapat dan berkumpul bagi hak rakyat dan oposisi.
3.     Hukum (aturan dan/atau UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
4.     Manipulatif dan membuat aturan pemilu sesuai dengan keinginan penguasa dan partai tiran/otoriter tanpa diikut/dihadir rakyat dan oposisi.
5.     Penegak hukum dan/atau petugas keamanan melakukan kekerasan/anarkis terhadap rakyat dan oposisi di manapun.

Referensi :