PENDIDIKAN KEWARGA NEGARAAN
LANDASAN HUKUM
1.
UUD 1945
·
Pembukaan UUD 1945, alinea kedua dan
keempat (cita-cita, tujuan dan aspirasi
Bangsa Indonesia tentang kemerdekaanya).
·
Pasal 27 (1), kesamaan kedudukan
Warganegara di dalam hukum dan pemerintahan.
·
Pasal 27 (3), hak dan kewajiban
Warganegara dalam upaya bela negara.
·
Pasal 30 (1), hak dan kewajiban
Warganegara dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
·
Pasal 31 (1), hak Warganegara
mendapatkan pendidikan.
2.
UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
3.
Surat Keputusan Dirjen Dikti Nomor
43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Pengembangan
Kepribadian di Perguruan Tinggi.
LATAR BELAKANG
Pendidikan moral terdiri dari dua kata, yaitu pendidikan danKewarganegaraan.
Pendidikan kewarganegaraan dijadikan bahan dalam pembelajaran pendidikan
pancasila dan kewarganegaraan.
Banyak pengertian pendidikan menurut para ahli.
Diantara banyak pengertian tersebut diketengahkan sebagai berikut:
1.
Menurut UU
sisdiknas No.20 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 1 mengatakan:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencanna untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didiik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya ,masyarakat,bangsa
dan Negara.
2.
Menurut
Carter v.Good(1997) pendidikan adalah proses perkembangan kecakapan seseorang
dalam bentuk sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakatnya.
Dari beberapa pendapat
diatas dapat disimpulkan bahwa: Pendidikan mengandung tujuan yang ingin
dicapai, yaitu membentuk kemampuan individu mengembangkan dirinya yang
kemampuan-kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan
hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai warga negara dan warga
masyarakat.
Dalam pendidikan
nilai moral Pendidikan Kewarganegaraan meliputi:
BATASAN-BATASAN NILAI MORAL
Pendidikan nilai moral berkaitan erat dengan
kebaikan, yang ada dalam sesuatu objek – subjek. Boleh jadi sesuatu objek –
subjek itu baik tetapi tidak bernilai bagi seseorang dalam suatu konteks
peristiwa tertentu.
PANDANGAN MASYARAKAN TENTANG NILAI/MORAL
Dalam suatu masyarakat yang majemuk dan
berkembang terdapat berbagai pandangan tentang nilai. Sehingga seringkali
terjadi kerancuan dan penyimpangan tentang pemaknaan nilai yang sesungguhnya
(the alse sense of normally). Sehingga kerap terjadi berbagai kelompok,
golongan, dan bangsa “menginjak – injak nilai” yang mestinya dihormati dengan
dalih yang “indah- indah”.
Sebaliknya, orang menuntut hak dan kebebasan pribadinya yang terlampau tinggi. Sehingga mengganggu hak asasi orang lain, kebebasan orang lain, sehingga terjadi.
Sebaliknya, orang menuntut hak dan kebebasan pribadinya yang terlampau tinggi. Sehingga mengganggu hak asasi orang lain, kebebasan orang lain, sehingga terjadi.
MAKNA PENDIDIKAN MORAL
Makna “pendidikan moral” adalah bertujuan
membantu peserta didik untuk mengenali nilai – nilai dan menempatkannya secara
integral dalam konteks keseluruhan hidupnya. Pendidikan semacam ini semakin
penting dan menempati posisi sentral karena tingkat kadar persatuan dan kesatuan
terutama yang berkaitan dengan kesadaran akan nilai – nilai dalam masyarakat
cenderung pudar.
TUJUAN
Tujuan
utama pendidikan kewarganegaraan adalah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran
bernegara, sikap serta perilaku yang cinta tanah air dan bersendikan kebudayaan
bangsa, wawasan nusantara, serta ketahanan nasional dalam diri para calon-calon
penerus bangsa yang sedang dan mengkaji dan akan menguasai imu pengetahuaan dan
teknologi serta seni.
Selain
itu juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia indonesia yang berbudi
luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, profesional, bertanggung
jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan
kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh
rasa tanggung jawab dari peserta didik. Sikap ini disertai perilaku yang:
Beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa serta menghayati nilai-nilai falsafah
bangsa.
Berbudi pekerti luhur,
berdisiplin dalam masnyarakat berbangsa dan bernegara.
Rasional, dinamis, dan sabar akan hak
dan kewajiban warga negara.
Bersifat profesional yang dijiwai oleh
kesadaran bela negara.
Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan negara.
Melalui
pendidikan Kewarganegaraan , warga negara Republik indonesia diharapkan mampu
“memahami”, menganalisa, dan menjawab masalah-masalah yang di hadapi oleh
masyarakat , bangsa dan negaranya secra konsisten dan berkesinambungan dalam
cita-cita dan tujuan nasional seperti yang di gariskan dalam pembukaan UUD
1945.
DEMOKRASI
Demokrasi adalah bentuk
pemerintahan yang semua warga negaranya
memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup
mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi—baik secara langsung
atau melalui perwakilan—dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan
adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.
Kata ini berasal dari bahasa
Yunani δημοκρατία (dēmokratía)
"kekuasaan rakyat",[1] yang terbentuk dari δῆμος (dêmos) "rakyat" dan
κράτος (kratos) "kekuatan" atau "kekuasaan" pada
abad ke-5 SM untuk menyebut sistem politiknegara-kota Yunani, salah satunya Athena; kata ini merupakan antonim dari ἀριστοκρατία (aristocratie) "kekuasaan elit". Secara teoretis,
kedua definisi tersebut saling bertentangan, namun kenyataannya sudah tidak
jelas lagi.[2]Sistem politik Athena Klasik, misalnya, memberikan kewarganegaraan
demokratis kepada pria elit yang bebas dan tidak menyertakan budak dan wanita
dalam partisipasi politik. Di semua pemerintahan demokrasi sepanjang sejarah
kuno dan modern, kewarganegaraan demokratis tetap ditempati kaum elit sampai
semua penduduk dewasa di sebagian besar negara demokrasi modern benar-benar
bebas setelah perjuangan gerakan hak suara pada abad ke-19 dan 20. Kata
demokrasi (democracy) sendiri sudah ada sejak abad ke-16 dan berasal
dari bahasa Perancis Pertengahan dan Latin Pertengahan lama.
Suatu pemerintahan demokratis berbeda dengan bentuk pemerintahan yang
kekuasaannya dipegang satu orang, seperti monarki, atau sekelompok kecil, seperti oligarki. Apapun itu, perbedaan-perbedaan yang berasal dari filosofi Yunani ini[3] sekarang tampak ambigu karena beberapa pemerintahan kontemporer
mencampur aduk elemen-elemen demokrasi, oligarki, dan monarki. Karl Popper mendefinisikan demokrasi sebagai sesuatu yang berbeda dengan kediktatoran atau tirani, sehingga berfokus pada kesempatan bagi rakyat untuk
mengendalikan para pemimpinnya dan menggulingkan mereka tanpa perlu
melakukan revolusi.
Ada beberapa jenis demokrasi, tetapi hanya ada dua bentuk dasar. Keduanya
menjelaskan cara seluruh rakyat menjalankan keinginannya. Bentuk demokrasi yang
pertama adalah demokrasi
langsung, yaitu semua warga negara
berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Di
kebanyakan negara demokrasi modern, seluruh rakyat masih merupakan satu
kekuasaan berdaulat namun kekuasaan politiknya dijalankan secara tidak langsung
melalui perwakilan; ini disebut demokrasi
perwakilan. Konsep demokrasi perwakilan muncul
dari ide-ide dan institusi yang berkembang pada Abad Pertengahan Eropa, Era Pencerahan, dan Revolusi Amerika Serikat dan Perancis.
HAM(hak asazi manusia)
Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar
HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal
27 ayat 1, pasal
28, pasal
29 ayat 2, pasal
30 ayat 1, dan pasal
31 ayat 1
Dalam teori perjanjian bernegara, adanya Pactum Unionis dan Pactum
Subjectionis. Pactum Unionis adalah perjanjian antara individu-individu atau
kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum unionis
adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa yang dipiliah di antara
warga negara tersebut (Pactum Unionis). Thomas Hobbes mengakui adanya Pactum
Subjectionis saja. John Lock mengakui adanya Pactum Unionis dan Pactum
Subjectionis dan JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum Unionis. Ke-tiga paham ini
berpenbdapat demikian. Namun pada intinya teori perjanjian ini meng-amanahkan
adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh penguasa, bentuk
jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).
Dalam kaitannya dengan itu, HAM adalah hak fundamental yang tak dapat
dicabut yang mana karena ia adalah seorang manusia. , misal, dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika atau Deklarasi Perancis. HAM yang dirujuk sekarang adalah seperangkat hak yang dikembangkan oleh
PBB sejak berakhirnya perang dunia II yang tidak mengenal berbagai
batasan-batasan kenegaraan. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak bisa
berkelit untuk tidak melindungi HAM yang bukan warga negaranya. Dengan kata
lain, selama menyangkut persoalan HAM setiap negara, tanpa kecuali, pada
tataran tertentu memiliki tanggung jawab, utamanya terkait pemenuhan HAM
pribadi-pribadi yang ada di dalam jurisdiksinya, termasuk orang asing
sekalipun. Oleh karenanya, pada tataran tertentu, akan menjadi sangat salah
untuk mengidentikan atau menyamakan antara HAM dengan hak-hak yang dimiliki
warga negara. HAM dimiliki oleh siapa saja, sepanjang ia bisa disebut sebagai
manusia.
Alasan di atas pula yang menyebabkan HAM bagian integral dari kajian dalam
disiplin ilmu hukum internasional. Oleh karenannya bukan sesuatu yang
kontroversial bila komunitas internasional memiliki kepedulian serius dan nyata
terhadap isu HAM di tingkat domestik. Malahan, peran komunitas internasional
sangat pokok dalam perlindungan HAM karena sifat
dan watak HAM itu sendiri yang merupakan mekanisme pertahanan dan
perlindungan individu terhadap kekuasaan negara yang sangat rentan untuk
disalahgunakan, sebagaimana telah sering dibuktikan sejarah umat manusia
sendiri. Contoh pelanggaran HAM:
1.
Penindasan dan
merampas hak rakyat dan oposisi dengan sewenang-wenang.
2.
Menghambat dan
membatasi kebebasan pers, pendapat dan berkumpul bagi hak rakyat dan oposisi.
3.
Hukum (aturan dan/atau
UU) diperlakukan tidak adil dan tidak manusiawi.
4.
Manipulatif dan
membuat aturan pemilu sesuai dengan keinginan penguasa dan partai
tiran/otoriter tanpa diikut/dihadir rakyat dan oposisi.
5.
Penegak hukum dan/atau
petugas keamanan melakukan kekerasan/anarkis terhadap rakyat dan oposisi di
manapun.
Referensi :